Kalau ada yang lebih indah dari intro payung teduh, mungkin itu kamu


Aku bangun siang, seperti biasa. Setelah malam-malam panjang penuh derai mengganggu tidurku, juga mengganggu hidupku beberapa waktu ini. Aku meneguk air dan meletakkan teko di atas meja, memandang ke luar jendela dan tidak merasakan apa-apa. Aku mandi, mengambil sabun rasa tea tree, menggosokkan ke dadaku dan menemukan perih tanpa luka di sana. Air mengucur deras membasahi setiap epidermis kulitku, membuat ujung jariku keriput karena sudah 1 jam berlalu dan aku hanya menatap kosong pintu yang ada di depanku. Shower kumatikan. Handuk merah yang baru kujemur tadi sore melilit di tubuhku, melangkah menuju kamar dan memilih pakaian hitam dari lemari. Memakai baju dengan bayangan tubuh yang sudah bosan dengan tangis tidak berguna setiap malam. 

Hari ini bermaksud untuk tidak melibatkan banyak orang dalam hidup. Jadi, memutuskan untuk jalan ke kafe sendiri dan membaca buku yang kubeli beberapa waktu lalu sambil minum susu coklat. Tidak lupa menyumpal telinga dengan headset sebagai tanda bahwa aku sedang tidak mau mendengarkan siapa-siapa kecuali diriku sendiri. 

Lembar demi lembar kubaca dengan nyaman. Hanya ketika membaca buku, aku merasa sedikit hidup. Mungkin benar, aku bisa kehilangan siapapun dan kehilangan apapun. Tapi tidak dengan kecintaanku terhadap buku. Kalau,.. kalau sampai itu terjadi, sama halnya aku kehilangan diri sendiri dan duniaku tidak punya arti apa-apa lagi. Tapi, apa yang bisa dilihat dari perempuan yang kepalanya penuh dengan benang kusut yang menggumpal? Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak nyaman berada di keramaian dan menyebalkan jika sedang tidak ada kamu di sana. 

Bosan dengan diriku sendiri selama dua jam, aku memutar lagunya payung teduh. Bagus. Baru kali ini aku dengan sengaja memutar playlist ini. Setidaknya ini hampir sama indahnya ketika kamu di sampingku. Aku berhenti membaca, mataku melirik pasangan dua anak di seberang meja. "Nanti kalau sudah menikah aku akan kayak gitu" Batinku mantap. 

Tapi beberapa detik kemudian, aku terdiam. Membisu. Terkejut dengan pikiran yang hadir dengan mendobrak kasar kepalaku. Menggunjing dan menertawai pikiran yang baru saja terlintas di sana. 

"Apa? Apa kamu yakin akan bisa menyerahkan kebahagiaan dengan orang lain? Dengan menunggu seseorang untuk bisa bersamamu? Atau memutuskan untuk tidak menikah karena tidak percaya diri? Merasa tidak berguna karena perselingkuhan dimana-mana dan kamu takut menjadi korbannya, hahhaha. Apa kamu pernah merasa layak untuk membangun sebuah keluarga yang baik? Sedang kamu dibesarkan dengan banyak cacat sana-sini. Apa anakmu akan kamu biarkan bersembunyi dengan ketakutannya di dalam lemari dan berteriak sambil meringkuk, memeluk tubuhnya yang  hanya belasan kilo itu? Yang akan pura-pura tidak mendengar kesedihan tapi diam-diam menimbunnya di hatinya. Kemudian tumbuh dewasa dan menjadi aku versi kedua? Apa siap?"

Seperti biasa, aku dimarahi oleh pikiranku sendiri. 

Apa ada hal lain yang lebih indah dari intro lagu payung teduh di sini? Selain kamu? Selain harapan yang kamu anggap sesuatu yang fatal. Karena berharap dan cinta itu dua hal yang berbeda. Karena aku sudah berjanji untuk tidak berharap dengan siapa pun setelah hari itu. Agar saat semua orang meninggalkan aku, aku tidak membodoh-bodohi diriku sendiri sampai mati. 

Seseorang yang pernah hampir memilikiku, pernah bilang bahwa aku pantas diselingkuhi memang, ya karena aku yang seperti ini. Terlihat menyenangkan saat menjadi teman, bahagia, mudah tertawa, lucu. Tapi, apa jadinya saat sudah memulai sebuah hubungan? Aku.. bukan seorang pecinta yang baik. Bukan. Banyak yang sudah meninggalkanku dan aku pantas mendapatkan itu. Dan aku... dan aku ingin menyayangi diriku sendiri lebih besar dari siapa pun, tapi pada akhirnya aku tetap menyayangimu. Menyayangimu lebih dari diriku sendiri dan itu bodoh sekaligus menyebalkan. 

Aku takut mencintai orang lain. Kemudian aku kehilangan diriku sendiri dan kehilangan seluruh kecintaanku terhadap hidup. Aku takut membuat diriku sendiri menderita, tapi tanpa sengaja aku selalu membawa diriku sendiri menderita. 

Dulu, abah bilang kalau yang terpenting adalah yang agamanya bagus. Tapi bagaimana cara aku tahu kalau orang lain punya agama bagus? Bagaimana? Sedang banyak sekali laki-laki yang kutemui dengan celana cingkrang dan postingan dakwah justru melakukan hal yang tidak baik kepadaku. Apa yang bisa menjamin laki-laki yang agamanya bagus akan dengan suka rela menikahiku dan membahagiakanku seperti dia membahagiakan dirinya sendiri? Maka, beragama bagus sudah bukan lagi kriteria untukku. Entahlah, karena aku memang hanya mencintai satu orang, dan itu kamu. Jadi penggambaran soal bagaimana laki-laki yang kuingini akan tertuju pada kamu. 

Beberapa waktu lalu, aku mengirim pesan singkat ke kerabatku yang berumur 28 tahun dan belum menikah. "Kenapa lo belum menikah? Emang jatuh cinta pas dewasa serumit itu ya?" persetan aku dianggap sebagai keponakan titisan dakjal yang menanyakan hal bodoh di idul fitri. Aku hanya ingin tahu, sebuah jawaban yang sebenarnya aku sendiri bisa menebak. 

"Belum nemu yang pas aja. Iya, memang rumit kalau dewasa." 

Dan percakapan selesai. Mungkin besok aku harus mengirimkan ucapan minal aidzin wal faizin lagi. Tapi bodoamat. 

Kini, aku masih mendengarkan lagu Payung Teduh. 

Ya, memang benar.. yang lebih indah dari intro payung teduh adalah matamu. 

Komentar

Daftar Bacaan

Kiranya begitulah menjadi orang yang kucintai

Surat Tanpa Alamat

Pertanyaan yang disimpan

alasan-alasan membosankan saat mencintai seseorang

Aku Menunggumu, Tapi Tidak Selamanya

Manusia Menyebalkan