Ragu

Aku masih menunggu proses exfoliasi kulitku selama 10 menit. Mengingat dan membicarakan bagaimana aku setelah lulus nanti masih menjadi perkara yang menyebalkan akhir-akhir ini. Anak teknik yang menulis? Menjadi penjual buku yang ternyata tidak laku? Oh, menyedihkan sekali nasipku ini ya? Padahal juga itu belum tentu terjadi.

Pasca menjadi moderator kemarin, pasca diingatkan dan ditampar soal bagaimana anak teknik seharusnya hidup, aku mulai berkaca pada diriku sendiri. Apa yang aku lakukan selama ini sia-sia? Atau salah? Atau sudah terlambat? Atau ada yang kurang? Kemudian, dengan tiba-tiba aku terkena serangan panik yang menakutkan. Seolah ada hal penting yang kulewatkan begitu saja kemarin. Tapi apa? Entahlah. Rasanya hidup memang berlari terlalu cepat dibandingkan waktu yang kupasang pada diriku sendiri.

Lalu, aku melihat cermin. Menatap kedua bola mataku yang bundar seperti dua bulan yang dijejer dan direkatkan pada sebuah kepala (yang bentuknya bundar juga). Rasanya, baru kemarin papa mengajariku lagu “Topi saya bundar” dan “Dua mata saya”. Tiba-tiba, aku harus benar-benar terkejut dengan semua yang kulihat dari dua bola mata bundar itu sekarang. Seperti sebuah remang yang menakutkan. Tidak terlalu jelas memang, tapi perasaan takut akan sesuatu itu jelas kurasakan.

Apa yang sebaiknya kulakukan? Tidak ada. Kupikir, sudah cukup aku menangis tiap hari selama kuliah kemarin. Kupikir penderitaanku untuk berusaha bertahan itu akan baik-baik saja. Ternyata, tidak hanya bertahan ya? Harusnya aku bisa lebih kuat lagi buat setidaknya mampu menyelesaikan semua permainan hidup yang konyol ini.

Aku merebahkan badan di kasur. Melihat langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Buku yang kubaca, semua yang kudengar, yang kuperhatikan, kucintai, selama 20 tahun belakang apa masih belum cukup untuk menghentikan ketakutanku atas dunia yang payah ini? 

Mau tak mau, aku memang sudah masuk dalam sistem kehidupan ini kan? Mau tak mau, aku harus menjadi seperti orang lain.  Perlahan (mungkin) mulai melupakan bagaimana impianku dulu. Tapi, di sisi lain, aku ingin hidup bebas dan mencari apa yang ingin kutahu. 

Kenapa papa tidak memberitahuku ya? Kalau jadi dewasa bisa serumit ini pikirannya? Atau ini bahkan belum ada apa-apanya? Kata orang, dunia bisa saja menjadikan kita beda kepribadian setiap harinya. Aaaaah pusing! Tapi kalau dipikir, memang sih. Benar kalau akan berbeda, karena kita akan terus bertumbuh. 

Seperti kata Yuval Noah dalam bukunya Sapiens bahwa manusia itu bisa sampai hari ini karena adaptasi yang baik, juga adanya revolusi kognitif. Kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri bahwa kita ini sekelompok homo sapiens yang berbeda dengan kucing. Kemudian manusia yang awalnya tidak punya pengaruh apa-apa di dunia jadi punya kedudukan tertinggi dalam rantai makanan. Oh, begitu cepat dan tiba-tibanya manusia berubah. Zaman juga ikut berubah. Tapi aku sialnya terlahir di zaman yang perubahannya bisa jadi 10 kali lebih cepat dari zaman-zaman sebelumnya. Dan lebih parahnya lagi, aku berada di jurusan yang menjadi poros dari perubahan itu sendiri (dibaca jurusan otomasi). 

Sekarang ini, aku dituntut untuk hidup di dua alam. Real life juga di media sosial. Bahkan mungkin parameter jodoh yang baik itu bisa diukur dari kehidupan dan akhlak kita ketika berada di dua dunia itu. Yah, tak mengapa sih. Anggap saja ini bagian dari perjuangan karena aku berada di Indonesia raya. Dengan banyaknya suku bangsa budaya dan anak muda yang gabut, aku bisa tumbuh dan makan nasi goreng ini. 

Apa aku masih bingung? Tentu saja masih. Tentang apa yang harus kulakukan? Bagaimana caraku mencari uang nanti? Bagaimana aku hidup? Apa yang kulakukan agar aku lulus kuliah? Apa yang harus kulakukan setelah lulus? Kerja di mana? Menikah dengan siapa? Bagaimana nanti caraku menikah? Apamertuaku bisa menerimaku yang kadang prikk ini? Apa semua keluarganya akan suka denganku? Bagaimana kalau aku memutuskan untuk S2? Bagaimana jika suamiku nggak open minded dan patriarki? Bagaimana kalau aku nanti hanya jadi ibu rumah tangga yang selalu diinjak-injak harga dirinya? Bagaimanakalau kehidupanku pasca pendidikan ini lebih menyeramkan? Bagaimana kalau suatu hari aku melihat buku dan aku tak diperbolehkan berkarya lagi? Bagaimana kalau ternyata aku sering menangis? Apa nanti aku masih bisa jalan sendirian sambil makan es krim dengan tenang? Apa yang nanti dirasakan papa kalau tahu anak perempuan yang suka meluk pas pagi-pagi ini sering menangis tengah malam karena tidak tahu mau hidup bagaimana? Oooooooooooohhhhhh menyebalkan!!!

Komentar

  1. Tulisannya bagus. Ingin sekali menanggapi, tapi rasanya kamu ga butuh tanggapan. Jalanin aja yang terbaik! Semangat!

    BalasHapus
  2. Terus lah berjuang, masih banyak hal di dunia ini yg tidak terlihat. Hidup gak semenyebalkan itu kok. Aku berkata gini bukan berarti aku udah nemuin hal yg membahagiakan. Tpi aku selalu percaya. Suatu saat nanti hal bahagia itu datang juga kok dan setiap orang juga sama.

    BalasHapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejak di sini yuk!

Daftar Bacaan

Kiranya begitulah menjadi orang yang kucintai

Surat Tanpa Alamat

Pertanyaan yang disimpan

alasan-alasan membosankan saat mencintai seseorang

Aku Menunggumu, Tapi Tidak Selamanya

Kalau ada yang lebih indah dari intro payung teduh, mungkin itu kamu

Manusia Menyebalkan