Pergi
Kata-kata itu kuhapus lagi. Kututup layar gawai kemudian melihat lembaran buku yang penuh dengan coretan tentang kamu.
Aku membacanya lagi, rasa-rasanya baru kemarin.. Rasa-rasanya, baru beberapa detik lalu kita bertemu.
Aku memejamkan mata, mengenang dengan pahit setiap jengkal kisah kita. Setiap kata yang hampir "berdua", sepenggal bait yang penuh dengan puisi cinta.
Aku juga harus mengingat lagi, bahwa harapan yang kujunjung dengan sangat tinggi, dengan sengaja kamu runtuhkan sekasar ini.
Seharusnya dari dulu, aku sudah menyerah. Seharusnya sejak saat itu.. Aku sadar bahwa aku sudah kalah.
Aku tidak akan marah kali ini.. Tapi aku pasti tetap sedih. Seharusnya, jika pada akhirnya kamu memilih dia.. Aku tak perlu ada. Seharusnya, jika aku hanya jadi anak tangga untukmu meninggi bersamanya, kita tak perlu ada cerita. Aku tak perlu mengetahui bahwa kecewa bisa sesakit ini. Belum apa-apa, aku sudah kalah. Belum selesai aku berdoa, tiba-tiba kamu buat patah.
Aku harus mengakhiri paragraf ini dengan kalimat apa? Aku harus mengakhirinya dengan bagaimana? Sedang cerita ini terpenggal sebelum mencapai klimaksnya.. Cerita ini masih terhimpun menjadi berjuta konflik yang membuatku tertegun berkali-kali. Sambil menggelengkan kepala tak percaya. "Ini kamu? Ini sungguh kamu? " tapi apa lagi yang perlu dipertanyakan selanjutnya?
.
Aku menutup buku itu dengan sesak. Ingin rasanya terbang ke langit dan menarik kembali doa-doa yang sudah terlanjur terbawa "aamiin".
Aku ingin sesegera mungkin memberitahu tuhan bahwa aku sudah tak ingin doa ku yang hari lalu terkabul. Sudah tidak apa-apa. Biar doa itu aku masukkan ke dalan kotak hitam dan aku buang di laut mati. Biar tak lagi mampu terbang tinggi. Biar aku bisa sesegera mungkin berlari mengikuti ritme yang seharusnya aku jalani tanpa ada kata "kamu".
.
Aku mendongakkan kepala. Tak berhak rasanya menangis, ini terlalu sepele dengan sejuta lika-liku takdir yang menghujam sesak dadaku belakangan ini. Aku juga harus mengingat lagi, bahwa tak ada makna setia yang sendirian. Tak ada komitmen yang dibuat sendiri. Tak ada perasaan yang se egois ini.
.
Aku gagal mengenalmu. Aku gagal memahami bahwa cerita ini harus berakhir seperti ini. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada pembaca jika "kamu" telah berpindah di buku lain? Bagaimana cara aku menjelaskan kepada semesta bahwa aku kehilangan tokoh utama? Apa kamu punya waktu untuk menjelaskan semua ini? Apa kamu masih bisa menyempatkan diri untuk meninggalkan dia sebentar untuk menjelaskan bagaimana kamu pergi dengan sadar? Kalau sudah selesai kamu bercerita, silahkan saja temui dan peluk dia erat-erat. Jangan sampai oranglain membuatnya merasa lebih kuat. Jangan sampai dia berpaling dan menemukan sandaran yang lebih hebat.
.
Kalau suatu hari, kita bertemu lagi dengan aku yang belum bahagia, tampar aku sekuat yang kamu bisa. Agar aku bisa lebih sadar, agar aku bisa lebih menerima dengan tegar, bahwa bahagia tak bisa disebut bahagia jika tanpa dilalui rasa sabar.
Semarang, 04 Agustus 2019
Ungkapan yang paling jujur..
Aku berkomentar kepada diriku sendiri untuk tetap tenang, meski pada akhirnya melupakan tak semudah menghapus screenshot percakapan. Tak semudah mencoret-coret buku diarymu sendiri. Tak segampang kamu merobek lembar demi lembar cerita disana. Untuk diriku yang kusayangi. Setelah ini, percayalah.. Pasti akan ada.. Seseorang yang mencintaimu sedalam kamu mencintainya. Seseorang yang tak lernah rela jika hatimu terluka hanya karena cinta. Seseorang yang harusnya kamu doakan dengan benar dari dulu, bukan dia orangnya! Ayo, tarik lagi doamu yang melangit... Tanamkan pada dirimu sendiri bahwa kamu tak akan pernah goyah dengan benturan sana-sini. Sudah tak apa, setelah ini.. Kamu akan bertemu dengan orang baru. Lebih baik. Jauh lebih baik dari orang yang pernah kamu temui sebelumnya.
BalasHapusHidup adalah tentang bertemu seseorang dan mencipta kisah dengan orang itu. Yang pasti, setiap orang punya masanya masing-masing untuk hadir dalam hidup kita. Semangat!
BalasHapus