Cerita di Balik Gerbong Kereta

 

Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan temanku. Sebut saja teman seperjuangan, atau teman senasip sepenangung. Tiga orang yang sama-sama tidak diterima di kampus impian. Tiga orang yang pernah punya ambisi gila. Aku berani bilang gila karena aku merasa seperti bukan manusia saat itu. Yang ada di kepalaku hanyalah kompetisi, kompetisi, dan masuk kampus impian dengan jalur prestasi.

 

Gilanya, aku bahkan rela tidak tidur untuk menyelesaikan naskah lombaku. Sering juga harus pulang larut malam agar bisa mengumpulkan naskah tepat waktu. Setiap bulan, aku dan kedua temanku ini selalu lomba kemana-mana. Aku pikir, saat itu semua yang aku lakukan sudah cukup buat aku bisa masuk ke kampus impian. Aku pikir usahaku sudah maksimal. Aku kira, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Mengingat aku yang setiap hari datang ke sekolah dengan wajah kusut dan sering sakit-sakitan karena memang sudah memeras semua tenaga buat ikut kompetisi.

 

Sampai pada suatu hari, aku dan kedua temanku berhasil mendapatkan sebuah tiket masuk ke salah satu kampus impian tersebut. Rasanya begitu bangga. Senang sekali mengingat aku dan kedua temanku sudah punya pegangan kampus di saat oranglain masih bingung ingin kuliah dimana, dan ingin mengambil jurusan apa. Saat itu, yang ada di pikiranku hanyalah ketenangan. Yah, sudah tenang karena aku sudah pasti diterima di kampus itu.

 

SNMPTN aku relakan, karena aku tidak berniat masuk S1. Saat itu, aku hanya ingin kuliah Diploma 3 saja. Karena aku ingin cepat-cepat lulus dan langsung kerja. Tetapi, meskipun aku sudah merelakan itu, ketika melihat teman-teman yang lolos SNMPTN tetapi tidak se gila aku perjuangannya, rasanya tetap sakit. Aku terus berpikir positif, mungkin saja mereka juga sangat berjuang. Hanya saja aku tidak tahu.

 

Hari demi hari, aku selalu diselimuti dengan ketakutan. Entahlah, mungkin ini sinyal dari diriku sendiri yang sejujurnya masih khawatir kalau aku tidak diterima di kampus manapun. Tetapi, sekali lagi aku meyakinkan diri kalau aku sudah ada pegangan kampus jadi tidak usah khawatir.

 

Namun, saat itu. Ketika aku dapat kabar bahwa kampus yang memberiku Free Pass ternyata tidak membuka Diploma tiga lagi. Aku benar-benar lemas. Sialnya, jurusan yang memberiku Free Pass ternyata juga tidak buka tahun ini. Kacau. Bingung mau berusaha bagaimana lagi. Sebelumnya aku juga sudah terlanjur tidak mendaftar jalur prestasi di kampus lain. Hampir semua jalur masuk di tutup. Parahnya, aku juga tidak siap buat ikut tes. Aku tidak pernah punya pikiran mau masuk lewat jalur tes. Aku kacau saat itu. Sama juga dengan kedua temanku. Sama-sama kacaunya.

 

Pulang sekolah. Kami bertiga berkumpul di masjid sekolah. Seperti biasa. Tidur terlentang, meratapi nasip, dan menangis sambil terus memaki takdir juga memaki diri sendiri. temanku yang satunya terus bilang kalau dia terancam tidak bisa kuliah kalau tidak diterima bidikmisi. Sedangkan kita bertiga tidak pernah serius mempersiapkan soal SBMPTN. Temanku yang satu lagi, masih bingung ingin kuliah dimana. Katanya, kalau tidak ada beasiswa yang berhasil diraih, dia juga tidak bisa melanjutkan kuliah. Beruntung, saat itu aku dan kedua temanku ini sempat mendaftar jalur SPANPTKIN. Sebuah jalur khusus masuk perguruan tinggi berbasis agama. Aku diterima di salah satu kampus agama di Semarang, temanku yang satu diterima di kampus agama di Jogja, dan temanku yang satu lagi masih belum diterima di kampus manapun. Katanya, besok ada pengumuman ketrima jalur masuk politeknik.

 

Besok, temanku yang beum mendapatkan kampus ini ternyata diterima di politeknik daerah Semarang. Tetapi dengan UKT yang lumayan. Aku menghembuskan nafas panjang. Rasanya dunia terasa begitu rumit. Belum lagi orangtua yang terus menerus menanyakan mau kuliah dimana. Sekedar pemberitahuan, aku sebenarnya juga mendapatkan UKT yang lumayan tinggi. Setidaknya, tinggi menurutku karena pada saat itu orangtuaku benar-benar sedang dilanda krisis.

 

Pulang dari sekolah, aku tidak menuju asrama sekolah tetapi langsung ke rumah asliku yang  ada di Wonogiri. Aku terkejut ketika melihat bapakku ada di rumah. Padahal aku ingat betul kalau kemarin bapak bilang padaku kalau akan pergi kerja. Tidak ada percakapan sore itu. Semua orang hanya diam. Aku jadi bingung, ini sebenarnya ada apa.

 

Malamnya, ibuku bilang kalau semalam bapak dibawa pulang oleh rekan kerjanya. Bapakku bekerja bangunan. Sering kerja dengan oranglain. Malam itu, ibu memberitahuku kalau ternyata bapak kemarin mengalami kecelakaan kerja. Beliau jatuh dari atap dan sempat tidak sadarkan diri. Beberapa waktu yang lalu, teman kerjanya juga tertimpa musibah yang sama. Tetapi, temannya tidak bisa bertahan dan akhirnya meninggal dunia. Nasip baik saat itu bapak masih sempat melindungi kepalanya dengan lengan kanan. Sehingga ketika jatuh ke lantai bawah setinggi lebih dari 4 meter itu tangannya yang sakit. Malam itu, katanya bapak dipulangkan. Bapak dipulangkan saat tengah malam. Beliau benar-benar tidak mau dibawa ke rumah sakit. Entahlah, dari dulu aku tidak pernah melihat bapak masuk rumah sakit atau berobat di dokter. Bapak juga selalu menyembunyikan rasa sakitnya seperti itu setiap kali sakit. Dan malam ini, beliau benar-benar menyimpan rasa sakit itu.

 

Hatiku benar-benar dihancurkan dua kali. Aku bertanya sama diri sendiri. Apa aku memang tidak harus melanjutkan kuliah? Apa aku terlalu memaksakan keadaan? Apa aku salah kalau pengen kuliah? Aku menangis sesenggukan di kamarku. Rasanya, kuliah menjadi tidak penting lagi. Aku benar-benar dalam masa kebingungan. Pengen kuliah, tapi tidak punya keberanian buat minta duit dari orangtua. Terlebih lagi, karena ambisiku yang sangat pengen kuliah itu, bapak jadi sakit. Aku benar-benar kalap malam itu. Menangis sampai tertidur. Berharap kalau ada keajaiban esok harinya.

 

Besoknya, bapak bilang padaku kalau “Cita-citanya adalah punya anak perempuan yang berpendidikan” aku menangis mendengarnya. Rasanya, aku tidak pantas lagi buat berharap apa-apa. Tetapi kali ini, lupakan kampus terbaik, lupakan impian-impian masuk jurusan bagus, lupakan itu semua dan lihat raut wajah kedua orangtuaku. Aku menarik nafas panjang dan.. baiklah aku mau kuliah di kampus agama itu. Meskipun dengan ukt yang besar. Aku berjanji buat cari beasiswa dan meringankan beban orangtua nanti.

 

Meski berat sekali rasanya, tetapi aku pikir ini pilihan yang paling baik dari semua pilihan yang tersedia di muka bumi. Intinya, aku bisa kuliah kan? Dimana pun kita berada, mutiara akan tetap menjadi mutiara, dia akan tetap berharga meski berada di tumpukan batu sungai sekalipun.

 

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menerima semua ketetapan. Sudahlah, capek memperjuangkan hal yang belum tentu jadi milikku. Akhirnya aku melakukan daftar ulang di kampus itu dengan air mata yang terus mengalir di sudut mataku. Rasanya benar-benar sakit. Tapi mau dikata apa, semua ini udah skenario semesta. Aku mau nangis jungkir balik pun keadaan engga bakalan bisa merubah ini semua.

Setelah daftar ulang selesai, aku pulang ke rumah. Dengan perasaan yang masih berkecambuk. Terlebih lagi, ketika melihat mata kuliah yang benar-benar tidak pernah kudengar sebelumnya. Hampir semuanya pakai bahasa arab dan aku tidak mengerti sama sekali. Ditambah dengan bayangan UKT yang engga tahu bakalan bisa bayar terus apa tidak. Terlebih teringat sama janjiku buat cari beasiswa nanti. Aku juga sebenarnya masih bingung mau cari beasiswa apa.

 

Beberapa waktu setelahnya, diam-diam aku mendaftarkan diri ke salah satu kampus negeri di Semarang. Aku dapat berita dari pembinaku kalau masih ada jalur prestasi dan raport yang masih buka. Aku mendaftar jalur itu dengan bantuan pinjaman uang dari salah satu temanku. Dalam hati, aku berjanji bakalan membayar itu semua kalau nanti aku udah bisa dapat uang sendiri. Saat itu, aku ingin masuk jurusan Hubungan Masyarakat. Tetapi, saat akan finalisasi pendaftaran, tidak bisa di klik. Ternyata, pemilihan jurusan harus linier. Saintek Harus ke saintek dan soshum harus ke soshum. Akhirnya, aku bingung lagi. Aku tidak terlalu suka hitung-hitungan saat SMA. Tetapi, yasudahlah. Akhirnya berbekal dulu pernah juara di bidang kepenulisan tentang teknologi, akhirnya aku mendaftar di jurusan Otomasi.

 

Sembari menunggu pengumuman, aku juga berusaha mendaftar  salah satu beasiswa swasta. Kebetulan, saat itu kakak tingkatku ada yang sudah diterima di beasiswa tersebut. Ternyata, yang mendaftarkan diri menjadi pelamar beasiswa ada 40.000 perempuan di seluruh Indonesia. Sedangkan, hanya dipilih 50 orang saja. Aku benar-benar pasrah lillahita’ala. Hingga pada suatu hari aku ternyata diterima menjadi salah satu dari 50 orang tersebut. Bersyukur sekali, bisa mendapatkan beasiswa ini.

 

Beberapa waktu itu, aku mendapatkan pengumuman bahwa aku juga diterima di salah satu kampus terbaik di Semarang. Jurusan Otomasi diploma 4, dengan UKT golongan 1. Aku langsung memberitahu orangtuaku dan mereka pun setuju buat aku bisa memilih kuliah di PTN tersebut.

 

Saat ini, aku menulis cerita di gerbong kereta. Sebuah perjalanku dengan seorang teman yang sekarang melanjutkan kuliah di politeknik daerah Semarang. Aku ingat betul, sebelum berangkat ke Semarang tadi, orangtua temanku ini berpesan kalau sampai temanku tidak bisa mendaftarkan beasiswa, maka dia akan kuliah tahun depan saja. Rasanya sesak mendengarnya. Tetapi, belum sampai di situ. Temanku yang diterima di perguruan tinggi berbasis agama di Jogja juga terancam tidak melanjutkan kuliah karena orangtuanya tidak sanggup membayar biaya perkuliahan.

 

Gerbong kereta terus melaju membawaku dan temanku tenggelam di pikiran masing-masing. Ternyata, hidup sesulit ini ya. Tetapi aku paham, bahwa ini adalah ujian yang diberikan supaya aku dan temanku bertumbuh menjadi perempuan yang kuat. Mungkin saja suatu hari, aku dan teman-teman hebatku ini ditakdirkan untuk menjadi pasangan seorang laki-laki yang hebat, sehingga kami harus melewati jalan cerita yang bisa menghebatkan kami. Atau mungkin saja kita ditakdirkan untuk menjadi ibu dari seorang pemimpin yang benar-benar memimpin. Sehingga, kita harus lebih memaknai arti kerja keras dan perjuangan supaya bisa menjadi pembelajaran untuk anak-anak kelak. Entahlah. Dunia memang kadang sebercanda itu. Tetapi, aku selalu mengingat kata-kata temanku bahwa tidak ada kerja keras yang tidak dibayar. Karena dosa yang kecil aja ada balasannya, apalagi perjuangan besar seperti perjuangan kita.


Komentar

Daftar Bacaan

Kiranya begitulah menjadi orang yang kucintai

Surat Tanpa Alamat

Pertanyaan yang disimpan

alasan-alasan membosankan saat mencintai seseorang

Aku Menunggumu, Tapi Tidak Selamanya

Kalau ada yang lebih indah dari intro payung teduh, mungkin itu kamu

Manusia Menyebalkan