Surat Tanpa Alamat
Untuk Laksmi,
Kamu tahu betapa sulitnya seseorang menulis kalimat pertama? Sampai aku harus merenung dan diam beberapa menit di depan mesin ketik ini setiap hari. Begitulah kebingungan yang selalu menerpa kepalaku sayang. Perbedaan waktu di tanah yang kita pijak mungkin bisa membuat pesan ini terkirim begitu lama. Ah, aku selalu ingin berdoa kepada tuhan agar suatu hari, di kemajuan zaman yang entah tahun ke berapa, manusia bisa dituntun untuk menciptakan sebuah alat komunikasi yang lebih praktis. Jadi jika ada orang yang sedang jatuh cinta seperti kita, mereka tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk menunggu.
Sayang, aku baru saja pulang ke rumah. Tentu saja ada banyak hal yang terjadi dan aku tak menemukanmu dimanapun. Aku meniti berbagai sudut kota dan mencari aroma tubuhmu di setiap benda di sana. Tapi yang kutemui ternyata hanya dongeng-dongeng aneh yang bohong dan bilang engkau telah tiada. Mana mungkin? Tak mungkin kamu meninggalkan aku sendiri di tempat ini.
Setiap pagi aku bangun dan tanganku selalu meraih udara di sisi kanan tempatku berbaring. Biasanya, kutemukan sesosok perempuan cantik dan dengan jahilnya kuciumi pipi dan bibirmu berulang-ulang. Atau kadang aku terbangun karena tiba-tiba saja lenganmu melingkar di perutku. Aku menggapaimu dan mendekap erat seolah tak ada siapapun yang boleh membawamu pergi dari duniaku.
Tapi yang kudapati hanya kekosongan. Tiba-tiba saja hatiku tercekik karena keinginanku melihatmu sekali lagi. Selalu kumemohon pada tuhan dan bertanya dimana keberadaanmu, hingga kutemukan secarik surat yang berisi kalimat rindu yang tragis. Sayang, sesakit itukah mencintaiku? Sepedih itukah penantian panjang yang membuatmu selalu bertanya-tanya soal keberadaanku? Siapa yang menyeka air matamu saat aku tiada? Oranglain kah? Atau kau biarkan air mata itu jatuh di antara tetesan kertas usang yang kau simpan di laci kamar kita? Lelaki macam apa aku ini. Seharusnya aku berusaha datang lebih cepat dan segera mencegahmu untuk mengakhiri cerita yang kita buat. Tapi ini semua salahku. Andai saja aku lebih kuat dan bisa melarikan diri dari pulau itu, andai saja orang-orang bajingan itu tidak membuatku terjebak di hutan yang penuh duri. Andai saja saat itu aku sempat mengabarimu. Betapa aku juga sangat merindukanmu sayang, setiap kali pukulan itu mengenai tubuhku, aku selalu berusaha menyelamatkan mata dan telingaku. Supaya apa? Supaya aku masih bisa mendengar suaramu dan melihatmu suatu hari nanti.
Sayang, bahkan sampai sekarang aku juga tidak mengerti mengapa hari itu aku ditangkap. Berkali-kali kutanyakan alasan kepada mereka, tapi yang kuterima hanya kepingan penyiksaan demi penyiksaan. Hari-hari kujalani dengan menyaksikan satu persatu orang mati di depan mataku. Dalam hati aku menangis, aku ingin pulang dan berada di dekapanmu. Mereka selalu memukul kepalaku jika mereka ingin, memaksa kami membuka lahan dengan tangan kosong di luasnya tanah yang penuh dengan tanaman duri yang tajam. Tanganku yang biasanya hanya kugunakan melukis dan membersihkan kuas dari cat air, tentu saja tak lihai untuk kugunakan menjadi petani dadakan macam ini. Darah selalu mengalir di telapak tanganku dan aku tak diperbolehkan berhenti bekerja. Beberapa kali kami memakan serangga yang kami temui untuk bertahan hidup dari teriknya matahari. Hingga suatu hari, aku dibawa di sebuah ruang pengap. Mereka bertanya padaku tentang hal-hal aneh. Tentang pendapatku soal pemerintah. Aku benar-benar tak mengerti. Katanya, aku adalah seseorang yang menganut sebuah faham yang tidak disukai pemerintah. Sayang, bahkan aku pun tak mengerti mengapa mereka tiba-tiba saja menuduhku memiliki faham tersebut. Aku berusaha membantah dan menanyakan bukti apa yang membuat mereka menuduhku seperti itu, tapi mereka tak menjawab dan hanya menggertak. Memang, banyak kutemui kumpulan orang-orang semacam itu hanya mengandalkan gertakan, ancaman, dan kemarahan untuk menutupi rasa rendah diri yang mereka miliki.
Sebuah sepatu melayang ke pelipis kananku. Tak sadar darah mengucur deras dari sana. Mereka menganggap aku terlalu cerewet dan membantah. Aku hanya diam dan menahan rasa sakit yang luar biasa. Belasan tinju tiba-tiba saja melayang ke kepalaku, hingga kursi yang kududuki ambruk bersamaaan dengan tubuhku. Saat aku terkaparpun, mereka tak berhenti melayangkan tinju. Hingga saat itu mata kananku terasa sakit yang luar biasa. Tiga hari setelahnya, aku tahu bahwa aku kehilangan penglihatan karena kejadian itu.
Sayang, aku ini hanya seorang seniman. Aku hanya melukis. Tapi entah mengapa cat air dan kanvas kosong yang kutemukan rapih di rumah membuatku semakin sedih. Kau kah yang membersihkan semuanya? Juga satu cangkir kopi yang sudah dingin di atas meja, apakah kau selalu membuatnya setiap hari, sayangku? Kecewakah kau saat tak kau dapati ketukan pintu dariku setiap malam? Sayang, maafkan aku yang tidak ada di sampingmu saat tulisanmu menjadi perbincangan banyak orang. Maafkan aku merusak suasana yang seharusnya membuatmu bahagia. Maafkan aku karena kubiarkan kamu menunggu terlalu lama. Padahal aku sendiri yang bilang "Aku tak akan membiarkan kamu sendirian barang sedetik." Tapi kata-kata itu hanya berakhir seperti omong kosong. Sayangku, marahkah kau denganku saat ini? Atas semua keterlambatan yang kubuat? Dari banyaknya hal yang seharusnya kita lakukan berdua, aku benar-benar menyesal akan hal itu. Meski aku sendiri tahu bahwa menyesal tak dapat mengubah apapun.
Sayang, kubaca berulang surat yang kamu buat. Kubaca hingga tanganku bergetar hebat. Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku. Entah berapa kali aku harus meminta maaf karena rasanya tak pernah cukup, juga tak bisa meredam rasa pedih di dadaku. Kau tahu hal lain yang membuatku merasakan sakit lebih dahsyat daripada penyiksaan di Pulau Buru? Yakni ketika kutemukan batu nisan dengan namamu yang tertulis di sana. Penyangkalan demi penyangkalan yang kubuat tak lebih membuatku seperti orang gila. Kubaca berulang-ulang nama itu, aku eja kosa-katanya, kupastikan lagi, hingga aku menyuruh orang lain membacakan nama itu kepadaku dan memang benar itu adalah namamu. Sayang, apa yang harus kulakukan sekarang? Sedih sudah, marah sudah, menangis juga sudah, setiap kali aku terbangun selalu melihat bayanganmu sedang menggunakan mesin ketik di sudut ruangan itu. Tapi bayangan itu membuatku semakin bersedih, karena aku selalu ingin berlari memelukmu namun tiba-tiba saja kamu menghilang. Sudah tak waraskah aku ini?
Sayang, terima kasih sudah menungguku waktu itu. Penantian panjangmu tak pernah sia-sia karena memang aku masih hidup dan mencintaimu seperti biasanya. Kalau aku mati beberapa waktu setelah ini, aku memohon pada tuhan untuk dihidupkan dan jatuh cinta denganmu lagi. Bagaimana pun, aku akan terus mencintaimu. Aku akan mencarimu di kehidupan berikutnya. Aku akan tetap menjadi orang yang berusaha membuatmu jatuh cinta.
Kekasihmu,
Ismuni
Gambar dari Pinterest
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!