Aku Bangga pada Diriku Sendiri


 

“Cita-citaku itu punya anak yang bisa kuliah, kayak kamu Shel. Karena aku paham kalau dengan keadaan yang kayak gini, aku udah engga pantes lagi ngomongin cita-cita.”

 

Ucapan teman sepermainanku di rumah membuatku diam membisu. Yah, aku adalah satu-satunya perempuan di desaku yang bisa melanjutkan ke PTN. Hampir semua teman-teman perempuanku sudah menikah bahkan sudah memiliki anak. Memang siklus di lingkunganku seperti itu. Pendidikan belum menjadi sesuatu hal yang dianggap penting. Kebanyakan justru menganggap pendidikan itu sebagai ajang buang-buang uang sekaligus buang-buang waktu. Anak-anak hanya diberikan pendidikan sampai jenjang SMP, ada yang beruntung bisa sampai jenjang SMK. Setelahnya, mereka akan mengadu nasip di kota besar menjadi pembantu rumah tangga atau Baby Sister. Setelah bekerja sekitar 2 tahun, mereka akan pulang ke desa dan menikah. Tidak lama lagi, tiba-tiba dengar kabar bahwa mereka sudah punya anak. Begitulah siklus takdir yang ada di lingkunganku.

 

Beruntung aku dilahirkan di keluarga yang menganggap pendidikan itu penting. Terutama bagi bapakku. Sejak dulu, aku selalu diajari bagaimana menulis dan membaca lebih cepat dari teman-temanku. Bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik buat pendidikanku, selalu berjuang dengan keras supaya aku bisa sekolah.

 

Tetapi, aku paham betul. Banyak sekali orang-orang di luar sana yang tidak seberuntung aku. Banyak dari mereka yang harus menjalani siklus takdir yang sama dengan para orangtua mereka. Boro-boro menanyakan cita-cita, bahkan pendidikan saja enggak pernah berada di urutan kedua atau ketiga di kepalanya. Rasanya, pendidikan kayak cuma dijadikan sebagai kebutuhan tersier. Kebutuhan mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang kaya. Seperti anaknya perangkat desa atau anaknya orang-orang kaya di luar sana.

 

Tetapi, berbekal hutang sana-sini, bapakku tetap bersikeras ingin menyekolahkan aku. Aku paham kalau semua yang aku pakai ini penuh dengan cicilan. Mulai dari sepatu, baju seragam, tas, bahkan buku yang berhasil aku dapatkan berkat kerja keras dan cicilan hutang tiap bulan yang harus dibayar oleh bapak.

 

Dengan bangga, aku juga merasa sangat beruntung bisa melanjutkan sekolah favorit di kecamatanku. Meskipun rumahku jauh, tetapi bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik buat aku. Aku bisa bilang seperti ini, karena saat itu hanya ada aku dan satu anak pak Lurah yang bisa sekolah di SMP tersebut.

 

Setiap kali hujan, aku harus berhati-hati dengan tanah yang tiba-tiba bisa longsor menutupi jalan. Ditambah dengan jalan licin dengan jurang di sisi kanan atau sisi kiri. Belum lagi jalanan menanjak dan turunan yang curam dengan rute berkelok-kelok harus terus aku lewati setiap hari supaya bisa bersekolah. Jarak dari rumah ke sekolahku sekitar 9 km. Jauh sekali rasanya saat pertama kali datang ke sekolah. Di perjalanan pun, aku harus melewati hutan jati dan hutan pinus sejauh kira-kira 2 km. Jadi, aku benar-benar berpikir keras ketika mau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

 

 Tetapi, itu adalah suatu kebanggan sekaligus keberuntungan bagiku. Karena aku ternyata bisa bertumbuh lebih baik dari yang lain. Aku bisa menikmati udara segar tiap pagi. Dibandingkan dengan temanku yang tidak punya kesempatan bersekolah, ini merupakan suatu keberkahan yang sangat istimewa.

 

Saat itu aku berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda motornya kakek. Sepeda motor dengan merk SupraFit dan susah sekali dihidupkan. Bahkan harus diselah dan digenjot beberapa kali untuk bisa menghidupkan sepeda motor ini. Karena pada saat itu sekolahku mewajibkan untuk memakai helm ke sekolah, maka aku juga memakai helm kakekku juga. Sebuah helm yang memiliki kaca berwarna coklat. Sebenarnya helm ini kacanya dulu warnanya bening seperti helm pada umumnya, tetapi karena sudah sangat tua jadi kacanya berubah menjadi coklat. Keca helm tersebut juga sudah pecah menjadi dua bagian. Sehingga, ketika dipakai, aku harus menyumpal kaca helm itu dengan potongan kardus supaya tidak menutupi pandanganku ketika sedang berkendara.

 

Sebenarnya sekolah sudah melarang siswa SMP menggunakan motor untuk ke sekolah. Tetapi mau bagaimana lagi? Angkutan umum tidak ada yang bisa sampai ke desaku. Kalaupun ada, pasti biayanya sangat mahal. Jadi, aku terpaksa harus menggunakan motor saat ke sekolah. Aku paham kenapa salah satu temanku tidak mau aku bonceng ketika pulang sekolah. Mungkin dengan semua hal yang aku punya ini, membuat dia agak malu kalau harus naik sepeda motor butut seeprti milikku. Belum lagi kadang kaca helmku yang tiba-tiba menutupi mukaku saat aku sedang menyelah sepeda motor. Hmm aku bangga karena saat itu aku engga punya rasa malu sama sekali. Aku bangga karena aku masih punya kesempatan buat sekolah dan mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak-anak lain.

 

Nyatanya, semua orang memiliki medan kehidupannya sendiri-sendiri. mungkin itu juga caraku bertumbuh untuk bisa menjadi seperti sekarang. Meskipun aku berasal dari desa, dari lingkungan yang tidak terlalu peduli dengan pendidikan, aku tetap bisa tersenyum bangga dengan kesempatan yang diberikan tuhan. Banyak yang ingin menimba ilmu seperti aku, banyak yang harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk sekolah karena keadaan yang memaksa buat mereka berhenti sekolah. Jadi, aku bangga dengan diriku sendiri. aku bangga karena aku masih bisa kuat menjalani berbagai perubahan-perubahan hidup yang luar biasa. Mungkin suatu hari aku bakalan tersenyum melihat tulisanku yang ini. Mengingat betapa dulu aku seberjuang itu untuk mendapatkan sesuatu. Terimakasih, sudah menjadikan aku perempuan beruntung. Sudah menjadikan aku satu-satunya perempuan yang bisa menemba ilmu sampai PTN di desaku. Terimakasih, Allah.


Komentar

Daftar Bacaan

Kiranya begitulah menjadi orang yang kucintai

Surat Tanpa Alamat

Pertanyaan yang disimpan

alasan-alasan membosankan saat mencintai seseorang

Aku Menunggumu, Tapi Tidak Selamanya

Kalau ada yang lebih indah dari intro payung teduh, mungkin itu kamu

Manusia Menyebalkan