Rengganis
Namaku Rengganis, dan aku membenci banyak orang. Termasuk juga ayahku sendiri yang suka memukul ibu. Pembukaan cerita dengan awalan perkenalan memang sangat membosankan. Tapi memang begitulah hidupku. Sangat membosankan. Tapi aku masih tetap hidup karena beberapa alasan. Pertama, karena ibu. Kedua, karena aku tak tahu caranya mati.
Rengganis itu, nama pemberian ibuku. Ayahku yang hobinya memukul kepala orang itu tidak mungkin kepikiran memberi nama kepada bayinya. Bahkan, saat aku masih kecil, ayah mengunciku di dalam lemari dan ia bercumbu dengan wanita lain di depan lemari. Padahal saat itu, ibu pergi bekerja dan aku sedang kelaparan.
Saat tumbuh dewasa, ibu bilang semua laki-laki jahat. Jadi aku tidak mau menikah. Aku takut sekali kalau pipiku ditampar dan rambutku dijambak. Ayah selalu berlaku begitu kepadaku dan kepada ibu. Semenjak kejadian itu, setiap hari ibu selalu mengganti sprei kamar sambil menangis. Katanya, itu bekas perempuan lain. Bekas luka yang sukar sekali hilangnya. Aku tak mengerti kenapa ibu masih tetap berada di rumah ini.
Kata salah satu buku yang aku baca waktu kecil, perempuan itu seperti seorang puteri. Ia akan memiliki pangeran yang menjemputnya dan membuatnya bahagia suatu hari. Aku senang sekali dengan cerita itu. Aku pikir saat dewasa aku juga akan menjadi seorang puteri dan bertemu pangeranku. Tapi nyatanya, saat dewasa aku menjadi seorang babu. Tidak ada seorang laki-laki pun yang mau melihatku, apalagi menjemputku. Agak kecewa sebenarnya, tapi apa yang bisa aku harapkan dari makhluk yang suka memukul orang lain?
Aku juga membenci perempuan yang tidur bersama ayahku. Ia terlihat seperti perempuan agamis. Jilbabnya panjang. Ia juga menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah. Aku dengar itu sekolah khusus agar anak-anak bisa belajar agama lebih dalam. Aku muak mendengar kabar itu. Rasa benci di dadaku semakin memuncak dan mungkin bisa disebut sebagai wanita dengan aura negatif pekat karena saking bencinya.
Perempuan itu juga mencaci ibu. Katanya, ibuku bodoh. Tidak mengerti agama. Tidak bisa dandan. Gagal menjadi perempuan karena suaminya tergoda dengan perempuan lain. Aku selalu menahan untuk tidak mengolok-olok seorang perempuan. Tapi perempuan bajingan dengan balutan agama yang naif seperti dia tidak pantas berkata demikian kepada ibuku. Apa agamanya menyuruh seorang janda yang ditinggal mati suaminya untuk tidur dengan suami orang lain? Tetapi, semua orang tak ada yang membela ibu. Mereka hanya mempercayai mulut perempuan sholehah itu. Aku sangat kesal, tapi ibu tidak menangis sama sekali.
Katanya, dunia memang seperti ini. Tidak ada yang benar-benar adil.
Aku menangis tersedu-sedu saat ibu bilang tidak ada yang bisa menyakitinya jika aku tetap hidup, sehat, dan berada di sampingnya.
Tapi ibuku mati.
Ibuku mati 6 tahun yang lalu.
Sebuah jarum jahit menancap di bola matanya karena ia terkejut saat sedang menjahit boneka kesayanganku. Aku menangis melihat wajah ibu yang tetap tenang sambil memegangi mata kirinya. Ibu dibawa ke rumah sakit, lalu dikabarkan meninggal karena serangan jantung. Aku bingung sekali, karena ibu tidak pernah punya riwayat penyakit seperti itu.
Hari itu, aku semakin membenci banyak orang. Semua orang di dunia ini mungkin. Karena tak lama kemudian ayahku menikah dengan perempuan sholehah itu. Aku tinggal bersamanya, dan bersama anak mereka.
Setiap hari adalah penyiksaan bagiku. Aku yang mengurus semua keperluan mereka. Seperti babu yang tidak dibayar. Aku juga sering dipukul oleh ayah. Hingga akhirnya, aku kabur dari rumah itu. Jika pada akhirnya aku mati karena lapar, maka biarlah aku mati. Hidup bersama mereka jauh lebih menakutkan daripada kematian.
Di sepanjang jalan aku hanya bisa menangis. Menangis. Menangis. Terus menangis hingga kakiku lemas. Aku berhenti di sebuah ruko yang kosong. Meringkuk dan memegang kepalaku. Aku benar-benar lelah dan ingin mati. Aku benci dengan mereka berdua, aku benci dunia ini. Berteriak ternyata tidak pernah mengubah apa pun. Mataku terasa sakit sekali. Ah, menyebalkan hidup seperti ini. Akhirnya, aku tiba di sebuah tebing yang sangat curam. Di dalamnya terdapat sungai yang airnya tidak terlalu deras, tapi mungkin cukup untuk membuatku mati. Aku melompat dari sana, berharap mati secepatnya.
Badanku jatuh dan aku masuk ke dasar sungai. Aku memjamkan mata dan siap untuk pergi dari dunia ini. Tetapi sialnya, sial sekali, Aku justru terbangun di sebuah rumah sakit.
Bajingan aku tidak mati!
Dan sekarang ini, aku berada di depan jendela kamar seseorang. Tentu saja aku tidak bisa berdiri karena kejadian itu. Aku hanya bisa menangis dan memohon agar ia tidak memperkosaku. Tapi hal itu tidak mengubah apapun. Dia tetap menjadikanku budak seks dan aku harus melayaninya setiap hari. Kadang kala, ia membawa teman-temannya ikut serta. Dengan ramai-ramai, mereka menjadikan tubuhku seperti sebuah mainan. Tidak ada yang bisa kulakukan. Tidak ada.
Tidak ada yang bisa membendung rasa bosanku di hidup ini. Tuhan, aku Rengganis dan aku bosan sekali hidup.
Aku muak sekali...
Laki-laki tak lebih baik dari seekor babi!
Sumber gambar: https://fanfiction.com.br/u/575537/
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!