Percakapan Alina Soal Dirinya Sendiri
Pernahkah kamu merasa kalau kamu orang yang tidak layak dicintai? Kukira semua orang; secantik atau setampan apapun ia, pasti pernah merasa hal itu barang sedetik. Persetan dengan alasannya, manusia memang kadang begitu, dan cinta tak selalu bertepuk tangan bahagia.
Barangkali, itu hal yang lumrah, dan aku bisa bersantai dengan banyak hal lain. Di kepingan kehidupanku yang berusia 24 tahun ini, aku juga dihadapkan dengan beberapa pilihan menyebalkan. Tentu saja ada banyak laki-laki yang datang dan pergi. Tapi semuanya hanya sekedar datang dan berkenalan. Setiap kali aku merasa nyaman, dengan tiba-tiba saja mereka berkemas dan menghilang. Tapi yasudah, tak mengapa. Orang boleh datang dan pergi sesuka hatinya. Biarkan saja begitu. Meski aku sadar, menjadi tempat pelampiasan, pilihan kedua, atau bahkan menjadi perempuan yang tak dipilih itu sama-sama bajingan sekali rasanya.
Sedikit bercerita tentang kisah yang membuatku kesal beberapa bulan lalu. Aku sedang dalam masa serius-seriusnya membangun karir. Menjadi seseorang yang kehidupannya biasa-biasa saja. Cantik tidak, jelek pun tidak. Pintar juga tidak, unik juga tidak. Semua yang aku sukai juga hal-hal maenstream dan tak ada bedanya dengan jenis perempuan lain. Semua berjalan begitu monoton dan aku tak memiliki banyak teman. Aku juga sudah kehilangan kedua orangtuaku pasca tsunami Aceh tahun 2004 silam. Meski ada sedikit trauma, aku merasa sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan perkembangan zaman.
Hidup bersama orang lain membuatku tidak nyaman, hingga saat usiaku 19 tahun aku nekat untuk merantau dan tinggal seorang diri di Bandung. Bukan sebatangkara juga sebenarnya, karena kebetulan di Bandung ada saudara jauh dari ibu. Setahuku, kota ini beberapa tahun lalu menjadi sorotan publik karena tulisannya Pidi Baiq yang tak perlu aku sebutkan judul karyanya. Itu membuat ponselku sedikit berisik karena tiba-tiba saja teman media sosialku bertanya tentang Jalan Buah Batu. Huft, aku lelah menjelaskan kalau jalanan itu adalah jalanan biasa. Jalanan yang selumrahnya jalan raya seperti jalanan pada umumnya.
Kini, aku hidup dengan kakiku sendiri, membeli dan menghabiskan uang dengan keinginanku sendiri, membaca banyak buku dan berlibur sesuka hatiku. Memang awalnya aku merasa kesepian, tapi semua tiba-tiba saja menjadi sesuatu yang biasa. Ya, seperti inilah kehidupanku yang kamu ingin tahu. tak ada yang istimewa dari aku selain satu hal. Yaps, betul sekali bahwa aku adalah orang yang menyaksikan kejadian tsunami Aceh yang mengerikan itu, dan ajaibnya aku bisa selamat dan hidup normal sampai sekarang.
Aku suka coklat dan haal-hal manis lainnya. Aku bisa menjadi sedih karena melihat kucing jelek di jalanan, atau bisa langsung bahagia saat mendengar lagu favoritku. Tentu saja lagu yang juga disukai oleh banyak orang. Tenang, aku juga perempuan yang kadang bilang "terserah" kalau kamu ingin mengajakku makan. Hal ini kumaksud agar aku tak terlalu merepotkanmu. Takutnya, selera makananku yang hancur ini membuat susana pertemuan kita tidak nyaman. Aku juga takut kalau tiba-tiba makanan yang kuinginkan terkesan mahal, atau mungkin murahan, atau takut sekali kamu berpikir kalau makanan itu kurang bersih. Tapi sudahlah, kata "terserah" memang kata paling menyenangkan diucapkan.
Beberapa bulan lalu aku meninggalkan seorang laki-laki yang menyakitiku. Aku akui setiap kali percintaan datang kepadaku, aku selalu sial dan menjadi orang yang sangat mudah dimanfaatkan. Aku tak merasakan kasih sayang sama sekali, aku menangis setiap malam, aku memohon pengertian, aku mendikte orang lain untuk mencintaiku, aku berharap orang lain mengerti aku, aku berhayal dia diam-diam melakukan hal romantis seperti yang kulakukan, aku selalu berdoa supaya dia merindukanku juga. Tapi sekali lagi kubilang bahwa tidak semua kisah cinta bertepuk tangan bahagia.
Aku selalu memberi kabar saat aku bangun tidur, atau ingin pergi ke suatu tempat. Aku selalu bercerita tentang keseharianku meski tak ada jawaban dan tak pernah ditanggapi sama sekali. Biasanya, setelah pengabaian itu, telepon kututup dan aku menangis. Beberapa detik kemudian aku bilang pada diri sendiri bahwa "Ah, mungkin dia sedang sibuk". Tetapi, apa yang kudapatkan? Ya, dia selalu melakukan itu kepadaku seolah aku perempuan yang tak layak diprioritaskan dan tak punya harga diri.
Sampai pada suatu malam, aku kelelahan dengan kebiasaanku bersedih seperti ini. Memaklumi semua hal-hal menyakitkan membuatku muak dan tak tahan dengan hidup. Aku merasa sudah waktunya pergi.
Lalu aku benar-benar pergi.
Ya, tak ada harapan kalau ketika aku pergi dia akan menyesali atau mencari-cari aku lagi. Karena memang segitu saja ruang tentang aku di kehidupan orang lain. Tak ada istimewanya.
Aku tak mungkin membiarkan beberapa bagian dalam hidupku untuk terus bersedih soal laki-laki yang bahkan tak peduli kalau aku bersedih. Bukan hal yang bagus kalau aku terpaku pada hal-hal seperti itu. Aku jadi merasa tak ada yang mencintaiku dan rendah diri. Aku harus selalu memaklumi kalau aku tidak dicintai karena memang aku tidak layak. Aku harus selalu mengerti kalau teman wanitanya lebih diprioritaskan dibandingkan denganku. Aku harus terbiasa dengan nomor dua. Aku tak boleh protes karena itu kekanak-kanakan dan dia benci kalau aku sepeerti anak kecil. Aku harus selalu memberi pengertian dan tidak boleh menangis. Aku yang bodoh, Aku yang selalu salah. Aku yang tak paham banyak hal. Aku juga yang tidak pantas dicintai. Aku muak dengan semua ini.
Tidak seharusnya aku diperlakukan seperti itu. Diriku sendiri, yang kusayangi, tak seharusnya dilukai dengan se konsisten itu. Aku berhak bersama dengan orang yang juga mencintaiku atau aku sendirian saja selamanya. Aku tak lagi ingin dibentak dan dicaci maki karena kesalahan kecil yang kuperbuat. Aku tak ingin diabaikan lagi. Aku tak seharusnya menurunkan standarku dalam mencintai hanya karena laki-laki yang bahkan tidak bisa bertanggung jawab atas perasaannya sendiri. Aku akan terus mencintai dengan setulus itu, dengan sebaik itu, tapi bukan untuk orang yang seperti masa laluku.
Akhirnya aku sendiri. Di tengah dinginnya udara Bandung dan dinginnya air di Masjid Salman saat subuh. Aku tetap menikmati hidup dalam kesendirianku dan terus melakukan hal-hal monoton seperti biasanya.
Meskipun aku selalu gagal dalam cinta, aku tetap percaya kalau laki-laki yang akan mencintaiku dengan tulus pasti ada. Pasti ada yang akan menerima segalaku. Pasti ada yang akan memperlakukanku dengan baik. Pasti ada. Pasti ada.
Aku membuka pintu keluar dari kafe yang biasa kudatangi. Ponselku berbunyi dan aku mendapatkan sebuah pesan instagram dari username yang tak begitu asing di mataku.
"Aku mau kita lebih dekat dari ini"
"Aku nggak mau. Maaf"
Kututup ponselku dan berjalan dengan hati yang tenang.
gambar dari pinterest
Sedihh :(
BalasHapus