Diam
Aku memilih untuk diam bukan berarti aku tidak punya perasaan. Tetapi karena paham bahwa perasaan yang kumiliki ini hanya akan menjadi sekat antara kita berdua. Aku memilih untuk terus menyimpannya supaya kita masih bisa saling bercengkrama, bisa saling berbagi cerita tanpa kamu tahu yang sebenarnya.
Aku tidak ingin kamu canggung bersebab perasaan yang kupunya. Aku tidak ingin perasaan ini menjadi penghalang dari pertemuan-pertemuan kita. Aku sebegitu takut. Hingga aku memenggal setiap rasa yang tumbuh tanpa sengaja. Aku takut jika kamu tahu, kamu akan menjauhiku. Kamu akan canggung membalas pesanku. Kamu akan berpikir dua kali saat berbincang denganku. Kamu mungkin akan membuat tembok setinggi langit agar aku tak bisa melihatmu. Kamu akan menjauh untuk menjaga perasaanku. Atau kamu bahkan tak lagi berbicara denganku karena khawatir akan tumbuh perasaan yang tak semestinya.
Aku memilih diam karena aku masih ingin berteman. Melihatmu bertumbuh dengan segala jatuh dan bangun. Membiarkanmu melangkah tanpa memperdulikan bagaimana perasaanku. Menjadikan kamu tempat cerita tanpa berpikir apa-apa. Aku hanya ingin kita tetap seperti ini saja sekarang.
Aku diam disaat kamu bercerita. Karena dengan diam itu, aku masih bisa mendengarkan segala keluh kesahmu. Mendengarkan ocehanmu tentang suatu peristiwa. Membaca setiap hurufmu dalam menjalani hari-hari yang terlewat begitu saja. Aku tetap diam, memendam perasaan agar kita tetap menjalin hubungan baik. Aku masih bisa tahu kabarmu tanpa ada rasa malu. Kita bisa duduk berdua tanpa ada getaran luar biasa. Kamu masih bisa berbincang denganku tanpa pura-pura.
Aku diam untuk menjaga perasaan kita. Menjaga agar aku tidak kehilangan kedua lenganmu. Menjaga agar aku masih bisa melukis indah senyummu. Menjaga agar canda tawa yang kita bangun saat ini tidak serta merta hilang begitu saja.
Aku diam karena ini bukan waktunya. Belum tepat. Dan jauh dari kata siap. Aku diam karena aku tahu, mengaku cinta hanya akan menimbulkan sekat, hanya akan mengubah kisah yang awalnya indah berubah menjadi patah, hanya akan menjadi tanda pisah.
Jadi biarkan aku diam dalam sejuta harapan. Biarkan aku diam agar tetap bisa melihatmu berjalan. Aku diam agar kamu masih memberiku ruang, setidaknya sebagai teman. Aku diam untuk membuatmu nyaman dalam setiap percakapan. Kamu tidak perlu khawatir dalam membalas pesanku. Kamu tidak perlu repot-repot untuk menceritakan sedih dan pilu. Kamu tak perlu canggung untuk mengungkapkan semua isi hatimu. “Kita kan teman. kita tak perlu ada perasaan.” Katamu waktu itu. Aku semakin membisu dengan segala penerimaan.
Aku menunduk semakin dalam. Melihat setiap tanggal berubah memenuhi angka dari satu hingga tiga puluhan, kemudian berganti dengan bulan yang baru, dan tanpa terasa tahun juga menambah angka satu. Tetapi perasaanku masih saja bisu. Diam tanpa keluar kalimat apa-apa. Hanya ungkapan bahwa aku sedang baik-baik saja menyelimuti setiap pertemuan kita. Hanya notifikasi dari pesanmu yang kubuat beda. Kalau hubungan kita, sebenarnya masih sama saja.
Tetapi biarlah cinta dalam kebisuan ini menjadi latihanku dalam menjaga diri. Mungkin memang semesta begitu baik, menjagaku dari cinta yang belum semestinya. Meski aku tahu, setiap harinya hanya bisa menepuk-nepuk udara, meski aku paham bahwa langkah kakiku selalu bergerak sendirian, tetapi itu jauh lebih baik. Setidaknya aku masih bisa melihatmu dari kejauhan bukan?
Aku diam karena perasaan ini sama sekali tak pantas diutarakan. Mungkin aku akan menunggu, mungkin juga aku akan menghapusnya dari ingatanku. Entahlah, sampai waktu aku menulis paragraf ini pun hatiku masih bisu. Seolah-olah aku nyaman dalam ketidakpastian. Seolah-olah aku baik-baik saja dalam luka. Seolah-olah aku menerima segala hal menyakitkan.
Aku diam. Agar setiap langkahmu tak didera kekhawatiran. Khawatir jika aku mengganggumu misalnya, khawatir jika perasaan ini merimbun di hatiku misalnya. Khawatir jika aku berharap kepadamu padahal kamu tak pernah menginginkan aku. Khawatir jika langkahmu akan terhambat karena perasaanku. Dan berlusin khawatir yang hanya bersebab karena aku.
Aku tidak akan pernah sejahat itu. Aku juga tidak akan berubah bentuk menjadi konyol hanya karena jatuh hati denganmu. Aku akan tetap diam, meski tak tahu sampai kapan. Yang jelas aku tak akan pernah berani mengutarakan meski tulisanku senantiasa menunjukkan perhatian. Aku takkan pernah mampu mewujudkan perasaanku menjadi kalimat meski hanya lewat pesan. Itu mustahil kulakukan, dan takkan pernah kulakukan.
Aku akan diam saja. Melihat bumi berputar pada porosnya. Melihatmu tertawa dalam ketidaktahuan. Merasakan sayatan dari dalam hatiku sendirian. Aku akan tetap diam, menutup rapat semua perasaan. Agar kita masih bisa bercerita tanpa ada rasa-apa-apa. Aku akan tetap menjadi temanmu. Tetapi kuharap tidak akan selamanya. Aku akan menjaga setiap cerita yang kamu ukir di kepalaku. Saat semua harap yang kamu ceritakan itu mengalir di setiap hurufmu, aku akan jadi seorang yang mampu merekam bait-bait itu dalam ingatan. Aku akan menjadi orang yang paling ingat atas semua perasaan yang kamu alami di beberapa tahun lalu, hingga tahun ke entah kapan. Aku akan tetap menjadi temanmu dalam menggapai mimpi yang kamu cita-citakan.
Aku akan tetap berdiam. Mendorongmu ketika berhenti. Menjulurkan tangan ketika terjatuh nanti. Menantimu ketika jauh. Menolongmu ketika butuh. Mengusap segala peluh. Menerima semua keluh. Meskipun pada akhirnya kita tak bisa menjadi utuh.
Aku akan tetap diam agar masih bisa kutatap setiap gurat bahagia itu sebagai teman. setidaknya aku masih punya sisi di hatimu. Masih ada kesempatan untuk tinggal lebih lama, masih punya cerita yang akan mengendap di sana, dan semoga bisa menjadi penghuni suatu hari nanti.
Aku diam seribu bahasa dengan perasaan yang tak pernah bisa dihitung berapa kosa katanya. Aku diam tanpa bicara dengan jutaan suara yang kuredam dengan paksa. Aku diam dengan perasaan yang sama bertahun lamanya. Sejak saat pertamakali kita dipertemukan pada koordinat yang sama, sejak saat itu rasanya dunia begitu sempurna membiarkanku menjadi bisu. Bisu atas perasaan sendiri. Bisu atas kejujuran hati. Bisu atas semua hal yang akan terjadi hingga saat ini. Dan entahlah, hari ke berapa nanti aku bisa angkat bicara, semoga takkan pernah berujung pada luka.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!