Perempuan tua dan tulisannya
Ada perempuan tua yang membenci tulisannya. Ia berusaha menghapus semua abjad yang terlanjur hidup di dalam diri seorang pemuda. Katanya, kalimat yang dulu itu tak tepat. Seperti hujan yang salah tempat, seperti tupai yang makan tomat.
Barangkali, perempuan itu kini menyadari. Beberapa manusia tidak sepatutnya dibuat abadi. Karena perasaan belum tentu demikian. Lantas harus diapakan manusia ini? Apa memang semua hanya terjadi di waktu itu saja?
Hati-hati dengan keadaan. Kadang hujan tidak melulu membawa kenangan. Ada kalanya tercipta arus yang deras, membuat luluh-lantak kehidupan, menjelma histori pahit dengan bumbu kehilangan.
Tidak juga tangisan berarti sedih. Adakalanya gerimis hadir saat hati sedang suka cita. Bagaimana lagi kalau keadaan tidak melulu seperti kelihatannya? Apa harus tetap ditelan perlahan?
Meski pada hari ini, pukul 5 sore hari, perempuan paruh baya sedang menangis. Entah sedih, entah hilang akalnya. Karena tulisan yang dibuat tak pernah sama. Tulisan itu berujung pada penyesalan-penyesalan yang tak kunjung reda. Semua mencabik hati dan membuang penulisnya di ujung kota. Setiap petang selalu bertanya-tanya, di mana letak bahagia? Apa masih bersandar di kursi taman? Perempatan jalan? Keramaian? Bianglala? Pasar malam? Kebun binatang? Atau tumpukan buku usang perpustakaan?
Di mana bahagia? Apa hanya terjadi di dalam kamera? Dengan topeng-topeng palsu? Membuat pendek usia?
Tidak benci pula perempuan itu pada tokohnya. Hanya saja, tulisan itu terlanjur ada. Terlanjur dibaca seluruh dunia. Pohon-pohon hafal setiap titik dan koma, tembok-tembok rapuh tahu bagaimana rimanya.
Tetapi adakah tokoh itu sadar? Ia telah membunuh penulisnya sendiri secara perlahan. Menciptakan bumerang pahit setiap kali huruf itu terbang di sudut ruangan. Membuka teriakan parau yang harus didengar tanpa perasaan. Akankah, tulisan itu bisa berhenti melekat pada hati-hati yang dipaksa pulang?
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!