Ia Adalah Seorang Perempuan
Ia seorang
perempuan. Pendiam. Tidak suka kemewahan. Memilih untuk mendengarkan, daripada
mengungkapkan. Lebih nyaman di keheningan dengan mendengarkan musik atau
podcast yang ia suka. Tidak menyukai hal
berisik. Tetapi suka bercerita banyak hal melalui kedua tangannya.
Ia seorang perempuan. Lebih memilih bersembunyi di belakang. Enggan memamerkan
apa saja yang ia punya. Selain satu hal. Yakni impian.
Dalam hening ia selalu bertanya, apa yang menjadi pembeda antara ia dan
perempuan lain? Apa yang menjadikan ia istimewa hingga suatu hari nanti, ia
tidak hanya menjadi pilihan tetapi menjadi satu-satunya perempuan yang
diperjuangkan. Apa yang menjadi pembeda dari ia yang lebih suka diam jika tidak
diajak bicara? Berbeda dengan perempuan lain yang lebih berani dalam melakukan
semuanya? Ia harus tumbuh menjadi seseorang yang berbeda. Tetapi bingung mau
jadi yang seperti apa.
Dari sana, ia mulai berangan-angan. Hidup tidak harus serupa dengan orang
kebanyakan. Hidup tidak harus sama dengan mereka. Maka dari itu, ia punya
impian yang berbeda. Ia punya impian yang sangat gila. Lebih berani bahkan
dari seorang yang menyanyi di depan panggung sekalipun, impiannya lebih lihai
dari seorang penari, dan lebih kuat dari perempuan pendaki.
Ia memutuskan untuk menulis. Karena impiannya adalah bisa menjadi penulis.
Sebuah alasan yang sebenarnya cukup sederhana. Ia tidak mungkin bisa membuat seseorang ingat
kepada dia selamanya. Tetapi jika ia menulis setiap pertemuan-pertemuannya
dengan seseorang, menulis setiap kejadian yang pahit atau membahagiakan, maka tulisan itu akan menuju pada keabadian.
Kumpulan paragraf itu tidak akan pernah berubah, meski seseorang yang di
dalamnya sudah berubah.
Impiannya sangat besar, ketika ia tuliskan bisa menjadi berlembar-lembar.
Intinya ia ingin menjadi perempuan yang berani dengan caranya sendiri. Ia ingin
menjadi orang yang cantik dengan hal-hal sederhana yang ia punya. Ia ingin
menjadi seseorang yang kuat tanpa harus latihan fisik dengan ketat. Ia ingin
hidup dengan dua tangan yang diberikan kekautan luar biasa oleh tuhan.
Dengan kedua tangan ini, ia bisa bercerita perihal semuanya. Dengan dua
tangan ini pula, ia ingin menitih jalan menuju surga.
Setiap pertemuannya dengan seseorang, hal yang biasa ia tanyakan adalah “Apa cita-citamu? Apa definisi sukses
menurut kamu?” Dengan itu, percakapan dimulai. Ia bisa mendengarkan seluruh
pandangan orang tersebut, menyimak setiap alasan dan cerita yang disampaikan,
atau bahkan mengingat setiap petuah yang secara tidak sadar dapat memberi
semangat padanya juga.
Ia suka bercerita. Tetapi dengan orang tertentu saja. Menceritakan
bagaimana semesta begitu hebatnya menciptakan setiap takdir. Bahkan ketika ia
mulai dilahirkan di dunia, sudah digariskan kematiannya nanti seperti apa.
Ketika ia ditiupkan ruh oleh Sang Maha Raja, ia sudah digariskan bahwa dewasa
nanti ia akan menjadi apa.
Berbicara soal pertemuan dan takdir, ia sangat percaya bahwa tidak ada
secuil kejadian yang lepas dari takdir-takdir Allah. Bahkan ketika seseorang
bertemu dengan orang yang menurutnya jahat pun, itu pasti sudah direncanakan
oleh Allah. Terlebih lagi soal impian.
Ketika seorang perempuan kecil lahir dengan tangisan, orang-orang dewasa
justru menyambutnya dengan senyuman. Tetapi, kenyataan pahit ketika perempuan
kecil itu beranjak dewasa, ketika perempuan itu menangis sendirian, ketika
tengah malam raganya ambruk tak berdaya, ketika impian-impiannya satu persatu
seakan membuat tubuhnya memar mati rasa, tak ada seorang dewasa yang datang memeluknya,
tak ada lagi senyuman hangat dan tangan-tangan lembut yang mengusap air
matanya. Tak lagi ada ucapan penenang atau bahkan tatapan iba sekalipun, hanya
bersebab karena perempuan itu sudah dewasa.
Perempuan itu, sudah sepatutnya melihat kerasnya dunia. Perempuan itu sudah
saatnya ditempa, dipukul dengan keras punggung keyakinannya, ditampar dengan
kasar pipi kelemahannya. Perempuan itu, harus benar-benar mampu bertahan ketika
raga dan rasanya dicacah dengan pedang panjang, harus selalu tersenyum ketika
oranglain dengan teganya menjambak semua cita-citanya.
Perempuan itu
berkali-kali jatuh ke tanah. Terhempas hingga masuk jurang. Merasa ingin mati,
ingin berhenti, bahkan enggan lagi memulai perjalanan. Tetapi tangan-tangan tuhan
mengabulkan. Setiap harinya, ia dipertemukan dengan malaikat baik. Sesosok
makhluk yang bersedia menjadi dada tempatnya menangis keras hingga habis sakit
di hatinya. Allah menghadirkan banyak sekali malaikat yang menjadi obat, yang
menjadi sumber kekuatan untuknya kembali berjalan. Malaikat yang Allah berikan
kadang membuatnya semakin berani untuk sekedar maju dan berlari. Impiannya
untuk bermanfaat bagi manusia lain, impiannya untuk menjadi perempuan yang
hebat, yang cita-citanya selalu digantungkan dengan Ia Yang Maha Perkasa,
dikukuhkan lagi dengan malaikat-malaikat itu.
Jatuh terpental hingga hampir menemui ajal tak pernah ia hiraukan dalam
berjalan menuju tempat keabadian. Setiap celah dari perang melawan diri dan
perasaan ternyata semakin membuat perempuan itu tumbuh dengan tabah. Tabah
ketika harus menerima bahwa dialihkan lagi jalan menuju cita-cita, tabah ketika
harus mengarungi perjalanan yang jauh lebih keras dan lebih banyak lagi
rintangannya.
Perempuan itu akan tetap berjalan meski matanya sembab penuh air mata,
wajahnya menjadi teduh karena cahaya di
hatinya juga mulai meredup. Tetapi percayalah, keyakinan akan suatu
piala pemberian tuhan tak pernah berhenti membuatnya bersikukuh. “Aku harus terus bertahan di jalan yang sudah
digariskan oleh Allah, aku boleh menangis tetapi aku tidak boleh berhenti meski
disakiti berkali-kali.” Kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.
Perempuan itu tetap melangkah. Dibawanya setiap bekal percaya, dipikulnya
segala bentuk amanah. Ia yakin seyakin-yakinnya, di ujung sana Allah sedang
tersenyum melihat hambanya sedang berjuang untuk bertemu dengan orang yang
dicintainya pula. Impiannya ia ingin setiap luka dan jatuh dalam proses ini
digaransi pahala oleh Ia Sang Maha Raja. Impiannya, ia bisa memberikan manfaat
bagi setiap orang yang bertemu dengannya. Impiannya, ia bisa membuat sebuah
karya yang ketika seseorang melihat karyanya, orang tersebut tidak memujinya
tetapi memuji Allah Yang Maha Esa. Ia ingin tulisannya menjelma menjadi pedang
dalam melindungi semua orang. Ia ingin dihadiahkan surga oleh penciptanya. Ia
ingin melihat keindahan jagad raya, menampakkan kaki di Hagia Shopia, melihat
sebuah perjuangan panjang Muhammad Al-fatih dalam memimpin pasukan terhebatnya.
Ia ingin menunaikan sholat di tempat yang pahalanya 100.000 kali dibandingkan
dengan tempat manapun, ia ingin melakukan itu semua tetapi dengan jalan yang
berbeda.
Ia sadar, bahwa dalam mengupayakan sesuatu, Allah sudah mengukur perempuan
itu mampu atau tidak. Tetapi, perempuan itu cukup bahagia ketika cita-cita dan
impian di keningnya tertambat erat pada sajadah. Ketika setiap malam ia
menangis tersedu-sedu, paginya wajahnya sembab penuh sendu. Ia menjadi kuat
dengan cara yang ia lalui sendiri. Setiap bahagia dan sedih yang hadir dalam
perjalanan meraih mimpi, Allah berikan setumpuk rasa percaya, dan berjuta
kesempatan untuk perempuan itu bisa kembali berjuang.
“Tidak apa-apa
Hambaku, ayo berjalan lagi... Aku menyayangi-Mu, Aku selalu ada di setiap jatuh
bangunmu. Tidak apa-apa hamba-Ku, kamu kuat... Aku mempercayakan segala takdir
ini kepadamu karena kamulah seseorang yang mampu. Bangunlah hamba-Ku, jangan
berhenti disini... Aku bersamamu.”
Begitu kata Allah disaat perempuan itu tak punya alasan lagi untuk berjuang
berkali-kali.
Akhirnya, dengan segala cinta yang ia punya, perempuan itu berusaha
menembus kekuatannya. Ia yakin bahwa yang diperintahkan oleh Ia Sang Kuasa tak
pernah salah. Takdir dan impian tetap ia langitkan, meskipun menyentuh awan
hitam, meskipun dijatuhkan oleh gemuruh petir dan hujan, ia tetap berusaha
bagaimana caranya agar doa itu sampai ke langit. Hingga bertemu dengan doa
perempuan hebat lain dan membaur bersama dengan doa yang terseleksi untuk
dikabulkan.
Semoga perempuan itu tetap kuat saat menjalankan takdirnya. Semoga
perempuan itu tak pernah lupa bahwa Allah senantiasa ada.
Dalam jangka waktu yang tak lama, ia tumbuh semakin dewasa. Tatapannya
penuh makna. Terlihat begitu banyak luka yang terpaut di sudut matanya. Makna setiap
hal yang ia katakan tak pernah lepas dari kejadian yang pernah ia lakukan. Ia
menjadi perempuan pendiam. Malas berkata jika tidak diperlukan. Tidak ingin
disorot cahaya jika hanya untuk gemerlap dunia saja. Perempuan itu, kini telah
belajar arti mencintai diri sendiri. Menjaga segala hal yang sekiranya tak
boleh diumbar. Menutupi segala sesuatu yang tak boleh oranglain tahu. Perempuan
itu tetap berjalan, tetapi kini badai dahsyat telah cukup mudah ia tanggalkan.
Ia bahkan berani menyusuri hutan, mengalahkan macan, tenang ketika srigala
berada di depannya. Ia bisa menaklukan
semua hanya dengan senyuman. Semua itu, datang silih berganti.
Rintangan-rintangan kecil yang menempanya, kini tak hanya bisa di taklukan,
tetapi cukup mudah untuk dijadikan sebagai pembelajaran.
Jatuh dan berdiri yang dulu ia lalui ternyata tak pernah lepas dari kuasa
tuhan. Lihatlah perempuan ini. Tatapannya kini mendewasakan. Sentuhan jemarinya
tak pernah lepas dari kasih sayang. Apakah ia masih bisa menangis? Kujawab, ia
justru lebih sering menangis. Kenapa? Karena yang terlihat kuat, ternyata tidak
selalu kuat. Ternyata, yang terlihat sudah lihai membunuh singa, ternyata juga
butuh waktu untuk mejadi manusia biasa.
Menangis menandakan bahwa perempuan itu masih menjadi manusia. Manusia yang
penuh akan kekurangan. Manusia yang butuh perlindungan. Manusia yang disebut
sebagai perempuan. Manusia yang ketika kamu lukai perasaannya juga tetap terasa
dua kali rasa sakitnya. Ia seorang makhluk yang mengedepankan perasaan juga.
Hanya saja ia lebih terlatih karena perjalanan hidupnya yang tidak biasa. Di
setiap jatuh dan berdiri, ia selalu menggunakan perasaannya untuk utuh kembali.
Mengandalkan bagaimana ia harus berjuang agar perasaan cinta kepada Allah terus
berkembang. Bagaimana ia tetap merasa harus menjejakkan kaki demi perasaan
sayang kepada Allah yang ingin terbalaskan.
Tetapi ternyata
perjalanan tidak berhenti disana saja. Terdapat banyak sekali sungai-sungai
menakutkan yang siap menjadikannya mangsa para buaya dan anakonda. Terdapat
banyak sekali jurang yang mampu membuatnya jatuh terjungkal. Terdapat pula
ribuan cobaan yang menanti di ujung persimpangan. Perempuan ini paham bahwa ini
adalah awal perjalanan, sebuah zona dimana akan terjadi sebuah peperangan yang
lebih dahsyat setiap harinya. Akan datang juga dimana ia terluka dan hanya diri
sendiri yang mampu merasakan betapa pedih sakitnya. Ia sendiri yang akan paham
betapa beratnya menerima kenyataan. Betapa sukarnya menjadikan Allah
satu-satunya pegangan.
Akhirnya, pertempuran itu tetap datang. Dalam suatu gurun yang panasnya tak
terhingga, ia harus ditempa dengan tega. Di hardik dengan lebih kejam sikapnya.
Dijatuhkan ribuan kali. Dipukul rata semua badannya. Lemas sudah tenaganya.
Hilang kekuatannya. Bahkan untuk sekedar mengedipkan mata, ia sudah tak bisa.
Peperangan dengan takdir kali ini hampir berujung pada kekalahan. Perempuan itu
menangis pada tuhan. Berteriak kesetanan.
“Kemana Tuhan? Kemana Dia? Kenapa tidak datang ketika aku
di serang? Kenapa tidak membantuku ketika telah habis daya juangku?” teriaknya dengan tangisan tersedu-sedu.
Allahuakbar, perempuan itu lupa. Bukankah seorang guru akan selalu diam jika sedang
memberi ujian?
Aku ulangi sekali lagi bahwa ia seorang perempuan. Perempuan yang ketika
kamu melihatnya mungkin biasa saja. Tetapi di dalam hatinya selalu dikaitkan
dengan kepercayaan yang luar biasa akan datangnya bahagia. Ia perempuan yang
sangat mudah percaya, mudah percaya dengan impian yang suatu saat pasti
terwujud, impian yang tak mungkin Allah biarkan lepas begitu saja, impian yang selalu
ia jadikan landasan bahwa hidup di bumi sebagai seorang hamba, ia perlu
memiliki misi yang luar biasa untuk mampu mengubah dunia. Bukan dunia dalam
lingkup fikiran manusia, tetapi dunia dalam pandangan kedua matanya. Karena
baginya dunia adalah tempat dimana ia dilahirkan, tempatnya tumbuh menepakkan
usia yang setiap hari mulai runtuh. Tempat yang menjadikannya punya alasan
untuk pulang. Ia ingin mengubah sesuatu yang ksalah disana, kemudian
meninggikan yang sudah baik di dalamnya.
Manusia itu adalah aku. Perempuan yang kini kamu temui sebagai orang yang mudah
tertawa. Perempuan yang suka kamu ajak bicara. Ia yang selalu berusaha menebar
bahagia kemana-mana. Perempuan yang menjelma dalam candaan tawa disetiap gurat
senyumnya. Seseorang yang dengan sibuk menutupi kantung mata, karena gurat
tawanya tertutupi oleh lekuk hitam disana. Perempuan itu adalah aku.
Atau bahkan perempuan itu adalah kamu juga? Mungkin saja. Dunia ini kadang
begitu hebat. Menciptakan seorang manusia dengan garis takdir yang saling
bersingungan. Seperti ketika kamu membaca tulisan ini dan aku yang sedang
menulisnya. Mungkin saja perjalann hidup kita berbeda tetapi dengan rintangan
yang sama kuatnya. Tetapi ingatlah, bahwa Allah akan memeluk hamba-hambanya
yang bersedia memperjuangkan setiap impiannya.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!