Rela
Pict by Dimas Ikhtiar
Kedatangan adalah rencana Allah. Begitu pula
kepergian. Semua berjalan sesuai dengan takdir yang digariskan. Allah berhak
memberi atau mengambil apapun dari kita. Allah berhak atas segala hal yang
melekat dalam hidup kita. Karena kita paham betul bahwa semua itu adalah
titipan-Nya.
Ketika suatu hari Allah menakdirkan sebuah
pertemuan, aku saat itu sedang belajar rela akan sesuatu. Tiba-tiba saja kamu
hadir, kamu bisa menguras semua luka dan kecewa dalam beberapa waktu saja. Saat
itu aku bahagia. Ternyata Allah mengambil orang yang dulu agar aku bisa bertemu
denganmu. Aku tersenyum, ternyata luka yang kusimpan itu bisa kamu sembuhkan
tanpa lama menunggu.
Saat itu, seolah dunia hanya berputar di
sekelilingku. Aku merasa menjadi perempuan paling diperhatikan oleh tuhan. Aku
merasa dititipi sebuah kebahagiaan besar. Kujaga dan kurawat sumber bahagia itu
dengan seksama, kubiarkan dia tumbuh hingga tanpa terasa Allah mengambilnya
juga. Sebuah bahagia yang bersumber dari
kamu akhirnya lenyap juga. Memang inilah cara semesta mengajariku untuk rela.
Hatiku sesak, menangis tersedu setiap kali
ingat kamu, telingaku seakan mendengar suaramu setiap malam, bayangan wajahmu
terus tergambar di langit-langit kamar, aku tidak bisa langsung rela akan
sebuah kepergian. Tanganku melambai-lambai, tatapanku kosong, seakan kamu berada
di depanku, tersenyum, kemudian melambai juga. Aku tersenyum melihatmu. Tetapi
setelah beberapa detik langkahku ingin menghampiri, kamu sudah terlanjur pergi.
Ternyata kisah kita hanya sebatas ilusiku sendiri.
Aku belajar rela setiap hari. Belajar
meyakini dalam hati bahwa tak ada cinta yang lebih besar dari seorang hamba
kepada tuhannya. Tak ada cinta yang sanggup menendingi segala kekuasaan Allah
ta’ala. Tiada yang bisa mengalahkan rasa cinta sebesar jagat raya itu, tak
pernah ada.
Tetapi, mengapa aku tetap terluka saat salah
satu hambanya melangkah pergi? Mengapa aku masih menangisi segala hal yang
sudah terjadi? Bukankah kita harus sedih secukupnya saja? Bukankah begitu?
Tetapi mengapa kakiku sangat berat untuk melangkah menuju itu?
Semenjak kamu menjauhiku, aku seperti
kehilangan sebagian dari diriku sendiri. Entah bagaimana bisa kamu bawa lari?
Entah mengapa diriku tak mampu tegap berdiri lagi? Seolah aku kehilangan arah,
seolah aku kehilangan langkah. Padahal, ngakunya aku hanya cinta Allah saja.
Tetapi, ketika dunia mengambilmu karena kepemilikannya, aku justru tersungkur
tak berdaya.
Sikapmu mendadak seperti pancaroba. Berubah.
Tak lagi kukenali kamu yang dulu selalu ceria menatapku. Tak lagi kutemukan
tulisan manis dengan untaian kata yang menyimpan rindu. Semuanya terlihat
hampa. Semua terlihat sangat berbeda.
Tatapan mataku kosong. Aku hanya mampu
menceritakan kamu lewat air mata. Aku hanya ingin dunia mengembalikan kamu di
sisiku lagi. Aku tak pernah ingin kamu pergi. Karena kali ini, aku hanya mampu
menatap langit dengan awan yang hitam. Mendung, tetapi tidak hujan. Seolah
cuaca sedang tidak ingin mengucap kepastian.
Tetapi sedetik kemudian, petir menyambar
dengan dahsyatnya. Hujan jatuh tanpa aba-aba. Sekujur tubuhku basah karena air
mata, dan kamu pergi meninggalkan genangan luka.
Aku kembali menatap punggungmu yang semakin
samar. Ingin rasanya berteriak agar kamu berhenti. Ingin rasanya aku berlari
menarikmu kembali. Tetapi kamu tak mendengarkanku sama sekali. Kamu pergi tanpa
peduli. Oh Allah, ternyata berharap bisa sesakit ini.
Hari demi hari aku melangkah dengan nafas
tersengal. Sesak. Ternyata aku masih tidak terima atas kepergianmu. Ternyata
aku masih ingin bersama dengan kamu. Ternyata aku sudah segila ini perihal
jatuh cinta. Pantas Allah segera
mengambilmu begitu saja.
Aku tahu Allah cemburu, tapi aku tetap
bersikeras mencintai kamu. Aku tahu perasaanku tidak boleh, tetapi aku justru
memupuknya dengan harapan yang tak pernah kuperolah. Aku selalu ingin bahagia
dengan cara yang tak semestinya. Terlalu membuka hati untuk kamu yang tak
pasti. Terlalu berharap pada manusia. Terlalu memasukkan segalanya di kepala.
Yah, aku tahu itu. Tetapi aku tetap saja mencintai kamu.
Aku bersikeras melupakanmu dalam hitungan
tanggal. Minggu dan bulan tak pernah berhenti menangisi aku yang terpanting
kehilangan diri sendiri. Aku menjadi orang yang menyedihkan. Terluka, tetapi
enggan ditolong. Seolah menikmati rasa sakit ini sendirian. Aku justru berusaha
mengingat kenangan lalu yang sebenarnya hanya menambah sakit kepalaku. Aku
sangat tidak memanusiakan perasaan sendiri. Bukannya lupa, malah menambah luka.
Hari berikutnya, aku kehilangan semangat
hidup. Berjalan sempoyongan dengan banyak melamun sendirian. Tersenyum sendiri,
kemudian menangis sejadi-jadinya ketika
malam. Fase gila ini kulalui dengan hati sesak. Dengan perasaan yang koyak. Aku
seolah memaksa diri untuk lupa, padahal aku sendiri tidak ingin melupakanmu.
Aku kehilangan fokusku. Rasanya menjadi
orang ling-lung juga kulewati dalam proses ini. aku sakit mendengar namamu
disebut. Aku terluka bahkan ketika ada orang yang namanya sama. Apakah aku
trauma? Apa aku terlalu cinta?
Aku hampir majnun karena perasaanku yang tak
bisa kukendalikan. Berkali-kali aku menarik diri dari keramaian. Berkali-kali
pula aku menemukan kesengsaraan. Allah rupanya sangat serius menamatkan luka
padaku, menandakan bahwa Ia begitu cemburu.
Proses yang kujalani sangat panjang. Aku
menutup rapat hatiku dari naungan siapapun. Aku tak ingin ada sesuatu masuk ke
sana selain kamu. Aku terus menunggu waktu. menangisi segala hal yang terjadi
di hari lalu. Tetapi, kamu tak pernah datang lagi hari itu. Kamu tak pernah
hadir meski dalam angan dan bayangan semu. Kamu benar-benar lenyap ditelan
bumi. Aku fikir, aku akan kehilangan seluruh semangat hidup, aku fikir aku tak
lagi mampu melanjutkan hidup. Aku terpukul karena luka, aku jatuh karena cinta,
dan aku tak sanggup untuk lupa.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejak di sini yuk!